.
Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info

Kamis, 24 Maret 2016

Maa'nil Hadis dan Problem pemahaman Hadis

Maa'nil Hadis dan Problem pemahaman Hadis

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Islam merupakan ajaran yang membawa pesan moral. Inti dari sumber ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an sebagai wahyu mutlak yang datang dari Allah swt yang lebih bersifat global, Al-Qur’an merupakan kitab otentik, yang mana redaksi, susunan maupun kandungan maknanya berasal dari wahyu, sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman.[1]Sedangkan Hadis merupakan sumber hukum yang bersandar kepada Nabi.
Aktivitas penulisan hadis yang bersifat formal dan kolektif baru dimulai pada tahun 100 H. Atas perintah khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz.[2] Artinya, peristiwa kodifikasi tersebut terjadi setelah 89 tahun wafatnya Rasulullah (11 H/633 M).[3] Hal ini berdampak pada kualitas periwayatan hadis yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkli dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi Saw.[4]
Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an telah mengalami perjalan yang panjang bukanya hanya dalam kodifikasi ataupun penelitian validitasnya. Adapun dalam konteks kajian hadis selama ini masih masih terfokus pada kritik sanad dan matan. Kedua kajian lebih terarah padah keorisinilan hadis atau kesahihan hadis, bisa dikatakan masih terfokus pada penggolongan macam-macam hadis.
Namun adakalanya setelah hadis diteliti sanad dan matannya serta diketahui bahwa hadis yang bersangkutan berstatus maqbul (dapat diterima sebagai dalil) ternyata hadis itu tampak bertentangan dengan hadis lain yang berstatus maqbul juga, atau bertentangan dengan dalil lainnya yang sah. Dalam keadaan seperti itu maka kegiatan penelitian masih perlu diteruskan. Yang diteliti bukanlah status maqbul-nya, melainkan apakah hadis yang diteliti dapat diamalkan ataukah tidak dapt diamalkan.
Munculnya berbagai masalah dalam menentukan orisinalitas dan otentisitas hadis dan juga pemahaman makna hadis itu sendiri dalam konteks kekinian, maka diperlukanlah sebuah metodologi penelitian hadis kontemporer sehingga makna hadis tidak hanya dapat dipahami secara tekstual tetapi secara kontekstual. Dengan demikian makna hadis-hadis Nabi dapat berkembang secara dinamis dan dapat dijadikan sebagai sumber pegangan kedua setelah al-Qur’an hingga akhir zaman.
B.  Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, untuk memfokuskan kajian makalah ini maka pemakalah akan merumuskanya sebagai berikut:
1.    Pengertian Ma’anil Hadis?
2.    Bagaimana Metode pemahaman hadis?


BAB II
PEMBAHSAN
1.    Sekilas Ma’anil Hadis
Kata Ma’ani (معانى) adalah bentuk jamak dari kata Ma’na (معنى). secara leksikal kata ma’ani berarti maksud atau arti. Ahli ilmu bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran. 
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Ma’ani adalah ushul-ushul dan kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai dengan konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan tujuan dari konteks tersebut..
Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadis dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa.
Mengingat objek kajian ilmu ma’ani adalah kalam arabi, maka hadis pun menjadi salah satu bahan kajiannya. Jadi secara spesifik, ilmu ma’ani hadis bisa difahami ilmu yang berbicara bagaimana memahami sebuah teks hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya.[5]
2.    Problem dan Metode Pemahaman Hadis
Dalam tradisi Islam, proses penafsiran sudah sejak al-Qur’an pertama kali diturunkan dan dikenal dengan ilmu tafsir, suatu disiplin ilmu yang memiliki akar sangat kuat dan masih berkembang sampai saat ini, terutama untuk melakukan kajian kritis mengenai hadis dan kandungan al-Qur’an.[6]
Penafisran terhadap al-Qur’an memiliki perkembangan lebih pesat dibandingkan penafsiran terhadap hadis Nabi, baik pembahasan materi ataupun dalam pembntukan kerangka metodologis. Hal ini dapat dimaklumi karena hadis memiliki permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan al-Qur’an yang telah diakui validitasnya oleh seluruh umat Islam, sedangkan hadis sebagian diantaranya ada yang diragukan otentitasnya disebabkan posisinya yang zanni al-wurud.
Hadis sebagaimana tekslah terkodifikasi dalam kitab-kitab hadis memiliki dua unsur penting yang berbeda meskipun tidak dapat dipisahkan, sanad dan matan. Dalam memahami hadis, seorang peneliti berhadapan dengan dua unsur tersebut, yang masing-masing mengandung berbagai problem. Problem yang berkaitan dengan sanad memunculkan diskusi panjang tentang ontetisitas hadis. Sedangkan problem yang berkaitan dengan matan melahirkan berbagai pendekatan dan metode pemahaman. Sebenarnya, dalam tingkat yang berbeda, baik sanad maupun matan memiliki pengaruh terhadap pemahaman hadis meskipun titik tekan pemahaman memang terletak pada matan.
Sementara itu fokus perhatian para pakar lebih menekankan pada kritik sanad dan matan hadis, sedangkan mengenai pemaknaan hadis kurang mendapatkaan perhatian, meskipun pada saat sekarang ini pemaknaan hadis sudah mulai mendapatkan perhatian yang cukup besar akan tetapi jarang dilakukan. Hal ini didukung adanya pendapat mengenai tugas seorang muhaddis adalah meriwayatkan hadis sebagaimana yang didengar.
Dengan demikian, perkembangan pemaknaan terhadap hadis dapat dikatan lamban, apabila dibandingkan dengan usaha ulama hadis dalam melakukan kritiik sanad dan matan hadis. Walaupun demikian, pemaknaan terhadap hadis terus berkembang terbukti dengan adanya dialog dikalangan ulama hadis khususnya dikalangan ulama mutaakhirin mengenai metodologi pemaknaan hadis, misalnya apa yang telah dilakukan oleh Imam M. al –Ghazali, Yusuf Qardawi, M syuhudi Isma’il, Muhammad Iqbal, Fauzlur Rahman dan Mushadi HAM.
Muhammad al-Ghazali tidak memberikan penjelasan langsung langkah-langkah konkrit yang berupa tahapan-tahapan dalam memahami hadis Nabi. Namun dari berbagai pernyataannya dalam buku al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis dapat ditarik kesimpulan tentang tolak ukur yang dipakai Muhammad al-Ghazali dalam kritik matan (otentitas matan dan pemahaman matan). Secara garis besar metode yang digunakan oleh Muhammad al-Ghazali ada 4 macam, yaitu: pertama: Pengujian dengan al-Qur’an. Muhammad al-Ghazali mengecam keras orang-orang yang memahami dan mengamalkan secara tekstual hadis-hados yang shahih sanadnya namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an. Pemikiran tersebut dilatarbelakangi adanya keyakinan tentang kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif setelah al-Qur’an, tidak semua hadis orisinal, dan tidak semua hadis dipahami secara benar oleh periwayatnya. Al-qur’an menurut Muhammad al-Ghazali adalah sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis adalah sumber kedua. Dalam memahami al-Qur’an kedudukan hadis sangatlah penting.[7]
Pengujian dengan al-Qur’an yang dimaksud adalah setiap hadis harus dipahami dalam kerangka makna-makna yang ditunjukkan oleh al-Qur’an baik secara langsung atau tidak. Ini artinya bisa jadi terkait dengan makna lahiriyah kandungan al-Qur’an atau pesan-pesan semangat dan nilai-nilai yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an atau dengan menganalogkan (qiyas) yang didasarkan pada hukum-hukum al-Qur’an.[8]
Kedua, Pengujian dengan hadis. Pengujian ini memiliki pengertian bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan hadis mutawattir dan hadis lainnya yang lebih shahih. Menurut Muhammad al-Ghazali suatu hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis yang terpisah dari yang lainnya. Tetapi, setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya. Kemudian hadis-hadis yang tergabung itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an.[9]
Ketiga, Pengujian dengan fakta historis. Sesuatu hal yang tak bisa dipungkiri bahwa hadis muncul dalam historisitas tertentu, oleh karenanya antara hadis dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh, demikian pula sebaliknya bila terjadi penyimpangan antara hadis dengan sejarah maka salah satu diantara keduanya diragukan kebenarannya.[10]
Keempat, Pengujian dengan kebenaran ilmiah. Pengujian ini bisa diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah dan juga memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh sebab itu adalah tidak masuk akal bila ada hadis Nabi mengabaikan rasa keadilan, dan menurutnya, bagaimana pun shahihnya sanad sebuah hadis, jika muatan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia maka hadis tersebut tidak layak pakai.[11]
Dari uaraian di atas, menurut al Ghazali, kandungan suatu matan hadis harus memiliki kriteria-kriteria, pertama, tidak bertentangan dengan al-Qur’an, karena kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif setelah al-Qur’an, kedua, tidak bertentangan dengan hadis yang lainya, ketiga, sejalan dengan fakta historis dan keempat, sejalan dengan kebenaran ilmiah.[12]
Menurut al-Qardawi untuk memahami matan hadis dan menemukan signifikasi kontekstualnya, harus mempunyai beberapa prinsip penafsiran hadis. Pertama, memahami hadis berdasarkan pentunjuk al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah sumber utama yng menempati herarki tertinggi dalam keseluruhan sistem doktrinal al-Qur’an.[13] Kedua, menghimpun hadis dengan topik yang sama agar makna sebuah hadis dapat ditangkap secara holistik, tidak parsial dan untuk menghindari munculnya devisi pemahaman terhadap hadis.[14] Ketiga, memahami hadis berdasarkan latar belakang kondisi dan tujuanya, agar dapat ditemukan makna hadis dan signifikasinya bagi kenutuhan historis si penafsir sehingga ia dapat menemukan solusi bagi problematika yang dihadapi.[15] Selanjutnya al-Qardawi menekankan bahwa sebuah hadis memuat dua dimensiyakni dimensi instrumental (wasilah) yang bersifat temporal dan dimensi intensial (gaya) yang bersifat permanen.[16] Al-Qardawi juga menekankan perllunya pendekatn linguistik, khususnya berkaitan dengan pembedaan makna haqiqi dan majazi dari lafadz0lafadz hadis sesuai dengan prosedur gramatikal bahasa Arab.[17]
Sementara itu titik tekan hermeneutika hadis Syuhudi Ismail lebih diarahkan pada pembedaan makna tekstual dan kontekstual hadis. Perbedaan ini dapat dilakukan dengan memperhatikan sisi-sisi linguistik hadis yang menyangkut style bahasa, seperti jawami’ al-kalim (ungkapan-ungkapan singkat tapi padat makna), tamsil (perumpamaan), ungkapan simbolik, bahsa percakapan dan ungkapan analogi.[18] Disamping itu, hermeneutika hadis juga harus melibatkan studi historis menyangkut peran dan fungsi Nabi serta latar situasioanl yang turun melahirkan sebuah hadis.[19]
Menurut Fazlur Rahman, sunnah Nabi lebih tepat jika dipandang sebagai sebuah konsep pengayoman (a general umbrella concept) dari pada bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara mutlak. Alasannya adalah bahwa secara teoritik dapat disimpulkan langsung dari kenyataan bahwa sunnah adalah sebuah terma perilaku (behavioral term), oleh karena di dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya secara moral, psikologis dan material, maka sunnah tersebut harus dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan. Sunnah Nabi, demikian tegas Rahman, merupakan petunjuk arah (pointer in the direction) dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan secara pasti (an exactly laid-out series of rulers).[20]
Berdasarkan asumsi itu, Rahman mengintrodusir teorinya tentang penafsiran situasional terhadap hadis. Ia menegaskan bahwa kebutuhan kaum Muslim dewasa ini adalah melakukan revaluasi terhadap aneka ragam unsur-unsur di dalam hadis dan reinterpretasi dengan sempurna terhadap hadis sesuai dengan kondisi-kondisi moral-sosial yang sudah berubah pada masa kini. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendekatan historis dalam studi hadis, yakni mengembalikan hadis menjadi “sunnah yang hidup” dan dengan membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yang dikandungnya dari latar belakang situasionalnya.[21]
Penafsiran situasional tersebut, menurut Rahman, akan menjelaskan bahwa beberapa doktrin keagamaan harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali, seperti masalah determinisme dan free-will (karsa bebas) manusia yang tercermin dalam hadis-hadis. Hadis-hadis ini harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya dan menurut fungsinya yang tepat dalam konteks kesejarahan. Penafsiran situasional yang sama, menurut Rahman, juga harus dilakukan terhadap hadis-hadis hukum. Hadis-hadis ini, demikian harus dipandang sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be re-treated) dan bukan dipandang sebagai hukum yang sudah jadi yang dapat secara langsung dipergunakan (a ready-made law).[22]
Pendekatan historis dalam “penafsiran situasional” ala Fazlur Rahman mengisyaratkan adanya beberapa langkah strategis. Pertama, memahami makna teks Nabi kemudian memahami latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi Nabi dan masyarakat pada periode nabi secara umum (asbab al-wurud makro), termasuk di sini pula sebab-sebab munculnya hadis (asbab al-wurud mikro). Di samping itu juga memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang relevan. Hal ini penting, karena Rahman memandang bahwa kreterium penilai yang handal untuk otentisitas pemaknaan hadis adalah dua hal, yakni sejarah dan al-Qur’an. Dari langkah ini dapat dipahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legis) dari ketetapan legal spesifiknya, dan dengan demikian dapat dirumuskan prinsip idea moral dari hadis tersebut.
Langkah berikutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni prinsip idea moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud Rahman dengan “pencairan” hadis menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian, penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis.
Sedangkan Mushadi menawarkan sebuah perumusan metodologis sistemati hermeneutika hadis. Pertama, kritik historis.[23] Sebuah tahapan penting dalam hermenutika berdasarkan asumsi bahwa apa yang dipahami itu secara historis otentik. Oleh karena itu, penggunaan kaedah kesohehan yang telah ditetapkan para ulama merupakan suatu ang niscaya, meskipun harus diakui bahwa pada tingkat operasional, penggunaan kaedah tersebut masih menghadapi sejumlah problem. Kedua, kritik eiditis.[24] Kritik eiditis memuat tiga langka utama, pertama, analisis isi, yaitu pemahaman terhadap muatan makna hadis melalui kajian linguistik, kajian tetmatis komperehensif, juga dilakukan konfirmasi makna yang diperoleh dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Kedua, analisis realita historis, yaitu upaya untuk menemukan konteks sosio historis hadis-hadis tersebut. Ketiga, analisis generalisasi dengan cara menangkap makna unniversal yang tercakup dalam hadis. Selanjutnya dilakukan kritik praktis, suatu kajian yang cermat terhadap situasi kekinian dan analisis berbagai realitas yang dihadapi, sehingga dapat dinilai dan diubah kondisinya sejauh diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai hadis secara baru pula.[25]
3.    Contoh Analisis Pemahaman Hadis
Secara garis besar makna hadis nabi bisa dipahami melalui dua cara yaitu, tekstualis dan kontekstualis. Dari metode pemahaman tersebut berimplikasi terhadap penerapan hadis tersebut pada konteks zaman, sosiokultur dan budayanya. Hadis nabi adalah merupakan jawaban atas problem waktu itu, dimana ucapan nabi tidak dipahami sebatas ucapan biasa melaikan sebuah aturan atau juga tuntunan bagi umatnya, melihat keluarnya hadis adalah respon terhadap problematika kehidupan masyarakat maka hadis tidak harus hanya dipahami secara tekstualis akan tetapi hadis harus dikontekskan pada zaman dan sosiokultur yang ada.
Untuk memudahkan memahami metode hadis yang digunakan oleh tokoh-tokoh yang sudah disebutkan, maka alangkah lebih baiknya kita melihat contoh dibawah ini:
كل مسكر خمر وكل مسكر حرام. (رواه البخارى ومسلم وغير هما عن ابن عمر بلفظ مسلم)
 Artinya: setiap (minuman) yang memabukkan adalah khamar dan setiap (minuman) yang memabukan adalah haram.[26]
Hadis tersebut secara tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman khamar tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya kebijaksanaan dalam dakwah, dispensasi kepada orang-orang tertentu yang dibolehkan untuk sementara waktu meminum khamar memang ada sebagian yang dapat  dipahami dari roses keharaman khamar dalam al-Qur’an.[27] Dispensasi itu untuk masa sekarang diterpkan, misalnya pada orang yang baru saja memeluk Islam menghentikan kebiasanya itu, dia diperkenankan secara bertahap, tetapi pasti, berusaha menghentikan kebiasanya meminum khamar.[28]
Dengan pemehaman seperti di atas, maka dapatlah dinyatakan bahwa khamar adalah minuman haram, namun secara temporal, kepada orang-orang tertentu meminum khamar dibolehkan dalam rangka kebijaksanaan dakwah.[29] Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, dengan adanya metode kontekstualis tersebut, makna yang terdapat didalam hadis tersebut bersifat dinamis dan lebih menekankan pada kemaslahatan dalam dakwah Islam.
Contoh kedua dalam analisis kontekstualis hadis adalah salah satu hadis yang mewajibkan kepada umat Islam khususnya laki-laki untuk memelihara jenggot. Hadis tersebut menjadi perdebatan dalam kalangan umat sendiri, karena tidak semua orang Islam berjenggot. Oleh karena itu kita bisa menstudi hadis tersebut apakah masih relevan semisal diterapkan pada era sekarang ini.
انهكوا الشوارب واعفوااللحى. (رواه البخارى ومسلم عن ابن عمر)
Artinya: guntinglah kumis dan panjangkanlah jengot.[30]
Hadis tersebut oleh sebagian umat Islam mereka pahami secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa nabi telah menyuruh semua kaum laki-laki untuk memelihara kumis dengan memangkas ujungnya dan memelihara jenggot dengan memanjangkanya. Mereka memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah satu kesempurnaan dalam mengajarkan agama Islam.[31]
Kalau melihat asbabul wurudnya, hadis tersebut di ucapkan oleh nabi kepada umatnya untuk memanjangkan jeggotnya karena pada waktu itu untuk membedakan antara orang-orang muslim dengan orang-orang yahudi. Jika melihat orang-orang yahudi konteks sekarang, mereka malahan memiliki jenggot yang sama panjang dengan orang-orang muslim, dengan demikian hadis untuk memeliharaa jenggot tersebut sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. Karena dari kenyatan itu, maka hadis di atas harus dipahami secara kontekstual. Karena kandungan hadis tersebut bersifat lokal.
   


BAB III
PENUTUP
C.  Kesimpulan
Pertama, Ilmu ma’ani hadis bisa difahami ilmu yang membahas bagaimana memahami sebuah teks hadis dengan mempertimbangkan teks dan kontekstualisasi makna hadis tersebut. Dalam hal ini untuk menghindari  adanya pertentangan antara teks hadis dengan situasi kondisi perkembangan zaman. Sehingga teks hadis bisa berfungsi sebagai petunjuk umat sampai akhir zaman.
Kedua, Secara sederhana dapat ditarik kesimpulan, dari penjelasan beberapa metode pakar hadis tersebut dapat disimpulkan dalam beberapa point sebagai berikut; pertama, prinsip konfirmatif dalam penafsiran hadis, yaitu seseorang harus selalu mengkonfirmaasikan makna hadis dengan pentunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai sumber tertinggi ajaran. Hal ini penting memingat hadis berfungsi sebagai penjelas bagi al-Qur’an. Kedua, prinsip tematis komprehensif. Artinya, teks-teks hadis tidak bisa dipahami sebagai teks yang berdiri sendiri, melaikan dari satu kesatuan yang intergal, sehingga dalam penafsiran suati hadis, seseorang harus mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema yang relevan, sehingga makna yang dihasilkan lebih komprehensif. Ketiga, prinsip historik. Prinsip ini menghendaki dilakukanya pemahaman terhadap latar situasional masa lampau, dimana hadis terlahir baik mencakup latar belakang sosiologis masyarakat Arab secara umum maupun situasi-situasi khusus yang melatar belakangi munculnya sebuah hadis. Termasuk dalam hal ini adalah kapasitas dan fungsi Nabi ketika melahirkan hadis yang bersangkutan.



[1] Seperti dalam firman Allah dalam  Q.S Al-Hijr ayat  9.
[2] Muhammad Yusuf, Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadis “Relasi Iman dan Sosial Humanistik Paradigma Integrasi-Interkoneksi”,  (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 15. Dikutip dari Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 59
[3] Muhammad Yusuf, Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadis “Relasi Iman dan Sosial Humanistik Paradigma Integrasi-Interkoneksi”,  (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 15. Dikutip dari Muhammad al-Hudari Bek, Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyid al-Mursalin, (Indonesia: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.th.), hlm. 274
[4] Ibid.,
[5] www.ma’anil hadis.blogspot.com, oleh Ibrahim-Muhlis diupload pada 12 juni 2011, didownload pada 09 Oktober 2013
[6] Komarudin hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakaarta: Paramadina, 1996), hlm. 136
[7] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta:Teras, 2008), hlm. 82-83
[8] Ibid., hlm. 83-84
[9] Ibid., hlm. 85
[10] Ibid.,
[11] Ibid., hlm. 86
[12] Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw “antara Pemhaman Tekstual dan Kontekstual”, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 225                                           
[13] Yusuf al-qardawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad ql-Baqir (Bandung: Karisma, 1997), hlm. 92-106
[14] Ibid., 106-117
[15] Ibid., 131-147
[16] Ibid., 147-167
[17] Ibid., 167-195
[18] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual “Telaah Ma’ani al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 9-31
[19] Ibid., 33
[20]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965),  hlm. 12
[21] Ibid., hlm. 77-78
[22] Ibid., hlm.78
[23] Mushadi HAM, Evolusi Konsep Sunah..., hlm. 155
[24] Ibid., hlm. 155-157
[25] Ibid., hlm. 157-159
[26] Ismail, Hadis Nabi..., hlm. 11 lihat Shahih al-Bukhari, Juz IV, hlm. 240, Shahih Muslim, Juz III, hlm. 1584-1588, Sunan al-Turmudzi, Juz III, hlm. 192-193. dan lain-lain.
[27] Lihat, al-Qur’an, surat al-Baqarah:219, Surat al-Nisa:43, Surat al-Maidah:90.
[28] Ismail, Hadis Nabi..., hlm. 12
[29] Ibid.,
[30] Ibid., hlm. 68 lihat Shohih al-Bukhari, Juz IV, hlm.39, Shahih Muslim, Juz I, hlm. 222 dan Musnad Ahmad, jilid II, hlm 16,52 dan lain-lain.
[31] Ibid.