Maa'nil Hadis dan Problem pemahaman Hadis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam
merupakan ajaran yang membawa pesan moral. Inti dari sumber ajaran Islam adalah
Al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an sebagai wahyu mutlak yang datang dari Allah swt
yang lebih bersifat global, Al-Qur’an merupakan kitab otentik, yang mana
redaksi, susunan maupun kandungan maknanya berasal dari wahyu, sehingga ia
terpelihara dan terjamin sepanjang zaman.[1]Sedangkan
Hadis merupakan sumber hukum yang bersandar kepada Nabi.
Aktivitas
penulisan hadis yang bersifat formal dan kolektif baru dimulai pada tahun 100
H. Atas perintah khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz.[2]
Artinya, peristiwa kodifikasi tersebut terjadi setelah 89 tahun wafatnya
Rasulullah (11 H/633 M).[3] Hal
ini berdampak pada kualitas periwayatan hadis yang pada umumnya disampaikan
oleh orang per orang dan itupun seringkli dengan redaksi yang sedikit berbeda
dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi Saw.[4]
Hadis
sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an telah mengalami perjalan yang
panjang bukanya hanya dalam kodifikasi ataupun penelitian validitasnya. Adapun
dalam konteks kajian hadis selama ini masih masih terfokus pada kritik sanad
dan matan. Kedua kajian lebih terarah padah keorisinilan hadis atau kesahihan
hadis, bisa dikatakan masih terfokus pada penggolongan macam-macam hadis.
Namun
adakalanya setelah hadis diteliti sanad dan matannya serta diketahui bahwa
hadis yang bersangkutan berstatus maqbul (dapat diterima sebagai dalil)
ternyata hadis itu tampak bertentangan dengan hadis lain yang berstatus maqbul
juga, atau bertentangan dengan dalil lainnya yang sah. Dalam keadaan seperti
itu maka kegiatan penelitian masih perlu diteruskan. Yang diteliti bukanlah
status maqbul-nya, melainkan apakah hadis yang diteliti dapat diamalkan ataukah
tidak dapt diamalkan.
Munculnya
berbagai masalah dalam menentukan orisinalitas dan otentisitas hadis dan juga
pemahaman makna hadis itu sendiri dalam konteks kekinian, maka diperlukanlah
sebuah metodologi penelitian hadis kontemporer sehingga makna hadis tidak hanya
dapat dipahami secara tekstual tetapi secara kontekstual. Dengan demikian makna
hadis-hadis Nabi dapat berkembang secara dinamis dan dapat dijadikan sebagai
sumber pegangan kedua setelah al-Qur’an hingga akhir zaman.
B.
Rumusan Masalah
Dari
uraian latar belakang masalah diatas, untuk memfokuskan kajian makalah ini maka
pemakalah akan merumuskanya sebagai berikut:
1. Pengertian
Ma’anil Hadis?
2. Bagaimana
Metode pemahaman hadis?
BAB II
PEMBAHSAN
1.
Sekilas Ma’anil Hadis
Kata Ma’ani (معانى)
adalah bentuk jamak dari kata Ma’na (معنى). secara leksikal kata ma’ani berarti maksud
atau arti. Ahli ilmu bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui
ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai
gambaran dari pikiran.
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Ma’ani adalah ushul-ushul dan
kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai
dengan konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan tujuan dari konteks
tersebut..
Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadis dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa.
Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadis dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa.
Mengingat objek kajian ilmu ma’ani adalah kalam arabi, maka hadis
pun menjadi salah satu bahan kajiannya. Jadi secara spesifik, ilmu ma’ani hadis
bisa difahami ilmu yang berbicara bagaimana memahami sebuah teks hadis secara
tepat dengan mempertimbangkan faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi
yang melingkupinya.[5]
2.
Problem dan Metode Pemahaman
Hadis
Dalam
tradisi Islam, proses penafsiran sudah sejak al-Qur’an pertama kali diturunkan
dan dikenal dengan ilmu tafsir, suatu disiplin ilmu yang memiliki akar sangat
kuat dan masih berkembang sampai saat ini, terutama untuk melakukan kajian
kritis mengenai hadis dan kandungan al-Qur’an.[6]
Penafisran
terhadap al-Qur’an memiliki perkembangan lebih pesat dibandingkan penafsiran
terhadap hadis Nabi, baik pembahasan materi ataupun dalam pembntukan kerangka
metodologis. Hal ini dapat dimaklumi karena hadis memiliki permasalahan yang
lebih kompleks dibandingkan al-Qur’an yang telah diakui validitasnya oleh
seluruh umat Islam, sedangkan hadis sebagian diantaranya ada yang diragukan otentitasnya
disebabkan posisinya yang zanni al-wurud.
Hadis
sebagaimana tekslah terkodifikasi dalam kitab-kitab hadis memiliki dua unsur
penting yang berbeda meskipun tidak dapat dipisahkan, sanad dan matan. Dalam
memahami hadis, seorang peneliti berhadapan dengan dua unsur tersebut, yang
masing-masing mengandung berbagai problem. Problem yang berkaitan dengan sanad
memunculkan diskusi panjang tentang ontetisitas hadis. Sedangkan problem yang
berkaitan dengan matan melahirkan berbagai pendekatan dan metode pemahaman.
Sebenarnya, dalam tingkat yang berbeda, baik sanad maupun matan memiliki
pengaruh terhadap pemahaman hadis meskipun titik tekan pemahaman memang
terletak pada matan.
Sementara
itu fokus perhatian para pakar lebih menekankan pada kritik sanad dan matan
hadis, sedangkan mengenai pemaknaan hadis kurang mendapatkaan perhatian,
meskipun pada saat sekarang ini pemaknaan hadis sudah mulai mendapatkan
perhatian yang cukup besar akan tetapi jarang dilakukan. Hal ini didukung
adanya pendapat mengenai tugas seorang muhaddis adalah meriwayatkan
hadis sebagaimana yang didengar.
Dengan
demikian, perkembangan pemaknaan terhadap hadis dapat dikatan lamban, apabila
dibandingkan dengan usaha ulama hadis dalam melakukan kritiik sanad dan matan
hadis. Walaupun demikian, pemaknaan terhadap hadis terus berkembang terbukti
dengan adanya dialog dikalangan ulama hadis khususnya dikalangan ulama mutaakhirin
mengenai metodologi pemaknaan hadis, misalnya apa yang telah dilakukan oleh
Imam M. al –Ghazali, Yusuf Qardawi, M syuhudi Isma’il, Muhammad Iqbal, Fauzlur
Rahman dan Mushadi HAM.
Muhammad
al-Ghazali tidak memberikan penjelasan langsung langkah-langkah konkrit yang
berupa tahapan-tahapan dalam memahami hadis Nabi. Namun dari berbagai
pernyataannya dalam buku al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl
al-Hadis dapat ditarik kesimpulan tentang tolak ukur yang dipakai Muhammad
al-Ghazali dalam kritik matan (otentitas matan dan pemahaman matan). Secara
garis besar metode yang digunakan oleh Muhammad al-Ghazali ada 4 macam, yaitu: pertama:
Pengujian dengan al-Qur’an. Muhammad al-Ghazali mengecam keras orang-orang
yang memahami dan mengamalkan secara tekstual hadis-hados yang shahih sanadnya
namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an. Pemikiran tersebut
dilatarbelakangi adanya keyakinan tentang kedudukan hadis sebagai sumber
otoritatif setelah al-Qur’an, tidak semua hadis orisinal, dan tidak semua hadis
dipahami secara benar oleh periwayatnya. Al-qur’an menurut Muhammad al-Ghazali
adalah sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis
adalah sumber kedua. Dalam memahami al-Qur’an kedudukan hadis sangatlah
penting.[7]
Pengujian
dengan al-Qur’an yang dimaksud adalah setiap hadis harus dipahami dalam
kerangka makna-makna yang ditunjukkan oleh al-Qur’an baik secara langsung atau
tidak. Ini artinya bisa jadi terkait dengan makna lahiriyah kandungan al-Qur’an
atau pesan-pesan semangat dan nilai-nilai yang dikandung oleh ayat-ayat
al-Qur’an atau dengan menganalogkan (qiyas) yang didasarkan pada hukum-hukum
al-Qur’an.[8]
Kedua,
Pengujian dengan hadis. Pengujian ini memiliki pengertian bahwa matan hadis
yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan hadis mutawattir dan
hadis lainnya yang lebih shahih. Menurut Muhammad al-Ghazali suatu hukum yang
berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis yang terpisah
dari yang lainnya. Tetapi, setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya.
Kemudian hadis-hadis yang tergabung itu dikomparasikan dengan apa yang
ditunjukkan oleh al-Qur’an.[9]
Ketiga,
Pengujian dengan fakta historis. Sesuatu hal yang tak bisa dipungkiri bahwa
hadis muncul dalam historisitas tertentu, oleh karenanya antara hadis dan
sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain.
Adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis
memiliki sandaran validitas yang kokoh, demikian pula sebaliknya bila terjadi
penyimpangan antara hadis dengan sejarah maka salah satu diantara keduanya
diragukan kebenarannya.[10]
Keempat,
Pengujian dengan kebenaran ilmiah. Pengujian ini bisa diartikan bahwa setiap
kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan
atau penemuan ilmiah dan juga memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan
dengan hak asasi manusia. Oleh sebab itu adalah tidak masuk akal bila ada hadis
Nabi mengabaikan rasa keadilan, dan menurutnya, bagaimana pun shahihnya sanad
sebuah hadis, jika muatan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip
keadilan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia maka hadis tersebut tidak layak
pakai.[11]
Dari
uaraian di atas, menurut al Ghazali, kandungan suatu matan hadis harus memiliki
kriteria-kriteria, pertama, tidak bertentangan dengan al-Qur’an, karena
kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif setelah al-Qur’an, kedua, tidak
bertentangan dengan hadis yang lainya, ketiga, sejalan dengan fakta historis dan
keempat, sejalan dengan kebenaran ilmiah.[12]
Menurut
al-Qardawi untuk memahami matan hadis dan menemukan signifikasi kontekstualnya,
harus mempunyai beberapa prinsip penafsiran hadis. Pertama, memahami hadis
berdasarkan pentunjuk al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah sumber utama yng
menempati herarki tertinggi dalam keseluruhan sistem doktrinal al-Qur’an.[13]
Kedua, menghimpun hadis dengan topik yang sama agar makna sebuah hadis dapat
ditangkap secara holistik, tidak parsial dan untuk menghindari munculnya devisi
pemahaman terhadap hadis.[14] Ketiga,
memahami hadis berdasarkan latar belakang kondisi dan tujuanya, agar dapat
ditemukan makna hadis dan signifikasinya bagi kenutuhan historis si penafsir
sehingga ia dapat menemukan solusi bagi problematika yang dihadapi.[15]
Selanjutnya al-Qardawi menekankan bahwa sebuah hadis memuat dua dimensiyakni
dimensi instrumental (wasilah) yang bersifat temporal dan dimensi intensial
(gaya) yang bersifat permanen.[16]
Al-Qardawi juga menekankan perllunya pendekatn linguistik, khususnya berkaitan
dengan pembedaan makna haqiqi dan majazi dari lafadz0lafadz hadis
sesuai dengan prosedur gramatikal bahasa Arab.[17]
Sementara
itu titik tekan hermeneutika hadis Syuhudi Ismail lebih diarahkan pada
pembedaan makna tekstual dan kontekstual hadis. Perbedaan ini dapat dilakukan
dengan memperhatikan sisi-sisi linguistik hadis yang menyangkut style bahasa,
seperti jawami’ al-kalim (ungkapan-ungkapan singkat tapi padat makna), tamsil
(perumpamaan), ungkapan simbolik, bahsa percakapan dan ungkapan analogi.[18]
Disamping itu, hermeneutika hadis juga harus melibatkan studi historis
menyangkut peran dan fungsi Nabi serta latar situasioanl yang turun melahirkan
sebuah hadis.[19]
Menurut
Fazlur Rahman, sunnah Nabi lebih tepat jika dipandang sebagai sebuah konsep
pengayoman (a general umbrella concept) dari pada bahwa ia mempunyai sebuah
kandungan khusus yang bersifat spesifik secara mutlak. Alasannya adalah bahwa
secara teoritik dapat disimpulkan langsung dari kenyataan bahwa sunnah adalah
sebuah terma perilaku (behavioral term), oleh karena di dalam prakteknya tidak
ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya secara
moral, psikologis dan material, maka sunnah tersebut harus dapat
diinterpretasikan dan diadaptasikan. Sunnah Nabi, demikian tegas Rahman,
merupakan petunjuk arah (pointer in the direction) dari pada serangkaian
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan secara pasti (an exactly laid-out
series of rulers).[20]
Berdasarkan
asumsi itu, Rahman mengintrodusir teorinya tentang penafsiran situasional
terhadap hadis. Ia menegaskan bahwa kebutuhan kaum Muslim dewasa ini adalah
melakukan revaluasi terhadap aneka ragam unsur-unsur di dalam hadis dan
reinterpretasi dengan sempurna terhadap hadis sesuai dengan kondisi-kondisi
moral-sosial yang sudah berubah pada masa kini. Hal ini hanya dapat dilakukan
melalui pendekatan historis dalam studi hadis, yakni mengembalikan hadis
menjadi “sunnah yang hidup” dan dengan membedakan secara tegas nilai-nilai
nyata yang dikandungnya dari latar belakang situasionalnya.[21]
Penafsiran
situasional tersebut, menurut Rahman, akan menjelaskan bahwa beberapa doktrin
keagamaan harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali, seperti masalah
determinisme dan free-will (karsa bebas) manusia yang tercermin dalam
hadis-hadis. Hadis-hadis ini harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya
dan menurut fungsinya yang tepat dalam konteks kesejarahan. Penafsiran
situasional yang sama, menurut Rahman, juga harus dilakukan terhadap
hadis-hadis hukum. Hadis-hadis ini, demikian harus dipandang sebagai suatu
masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be re-treated) dan bukan
dipandang sebagai hukum yang sudah jadi yang dapat secara langsung dipergunakan
(a ready-made law).[22]
Pendekatan
historis dalam “penafsiran situasional” ala Fazlur Rahman mengisyaratkan adanya
beberapa langkah strategis. Pertama, memahami makna teks Nabi kemudian memahami
latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi Nabi dan masyarakat
pada periode nabi secara umum (asbab al-wurud makro), termasuk di sini pula
sebab-sebab munculnya hadis (asbab al-wurud mikro). Di samping itu juga
memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang relevan. Hal ini penting, karena
Rahman memandang bahwa kreterium penilai yang handal untuk otentisitas
pemaknaan hadis adalah dua hal, yakni sejarah dan al-Qur’an. Dari langkah ini
dapat dipahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legis)
dari ketetapan legal spesifiknya, dan dengan demikian dapat dirumuskan prinsip
idea moral dari hadis tersebut.
Langkah
berikutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni prinsip idea moral yang
didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa
ini. Inilah yang dimaksud Rahman dengan “pencairan” hadis menjadi “sunnah yang
hidup”. Dengan demikian, penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan
pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis.
Sedangkan
Mushadi menawarkan sebuah perumusan metodologis sistemati hermeneutika hadis.
Pertama, kritik historis.[23]
Sebuah tahapan penting dalam hermenutika berdasarkan asumsi bahwa apa yang
dipahami itu secara historis otentik. Oleh karena itu, penggunaan kaedah
kesohehan yang telah ditetapkan para ulama merupakan suatu ang niscaya,
meskipun harus diakui bahwa pada tingkat operasional, penggunaan kaedah
tersebut masih menghadapi sejumlah problem. Kedua, kritik eiditis.[24]
Kritik eiditis memuat tiga langka utama, pertama, analisis isi, yaitu pemahaman
terhadap muatan makna hadis melalui kajian linguistik, kajian tetmatis komperehensif,
juga dilakukan konfirmasi makna yang diperoleh dengan petunjuk-petunjuk
al-Qur’an. Kedua, analisis realita historis, yaitu upaya untuk menemukan
konteks sosio historis hadis-hadis tersebut. Ketiga, analisis generalisasi
dengan cara menangkap makna unniversal yang tercakup dalam hadis. Selanjutnya
dilakukan kritik praktis, suatu kajian yang cermat terhadap situasi kekinian
dan analisis berbagai realitas yang dihadapi, sehingga dapat dinilai dan diubah
kondisinya sejauh diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa
mengimplementasikan nilai-nilai hadis secara baru pula.[25]
3.
Contoh Analisis
Pemahaman Hadis
Secara
garis besar makna hadis nabi bisa dipahami melalui dua cara yaitu, tekstualis
dan kontekstualis. Dari metode pemahaman tersebut berimplikasi terhadap
penerapan hadis tersebut pada konteks zaman, sosiokultur dan budayanya. Hadis
nabi adalah merupakan jawaban atas problem waktu itu, dimana ucapan nabi tidak
dipahami sebatas ucapan biasa melaikan sebuah aturan atau juga tuntunan bagi
umatnya, melihat keluarnya hadis adalah respon terhadap problematika kehidupan
masyarakat maka hadis tidak harus hanya dipahami secara tekstualis akan tetapi
hadis harus dikontekskan pada zaman dan sosiokultur yang ada.
Untuk
memudahkan memahami metode hadis yang digunakan oleh tokoh-tokoh yang sudah
disebutkan, maka alangkah lebih baiknya kita melihat contoh dibawah ini:
كل مسكر خمر وكل
مسكر حرام. (رواه البخارى ومسلم وغير هما عن ابن عمر بلفظ مسلم)
Artinya:
setiap (minuman) yang memabukkan adalah khamar dan setiap (minuman) yang
memabukan adalah haram.[26]
Hadis
tersebut secara tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman khamar tidak terikat
oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya kebijaksanaan dalam dakwah, dispensasi
kepada orang-orang tertentu yang dibolehkan untuk sementara waktu meminum
khamar memang ada sebagian yang dapat dipahami
dari roses keharaman khamar dalam al-Qur’an.[27]
Dispensasi itu untuk masa sekarang diterpkan, misalnya pada orang yang baru
saja memeluk Islam menghentikan kebiasanya itu, dia diperkenankan secara
bertahap, tetapi pasti, berusaha menghentikan kebiasanya meminum khamar.[28]
Dengan
pemehaman seperti di atas, maka dapatlah dinyatakan bahwa khamar adalah minuman
haram, namun secara temporal, kepada orang-orang tertentu meminum khamar
dibolehkan dalam rangka kebijaksanaan dakwah.[29]
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, dengan adanya metode kontekstualis
tersebut, makna yang terdapat didalam hadis tersebut bersifat dinamis dan lebih
menekankan pada kemaslahatan dalam dakwah Islam.
Contoh
kedua dalam analisis kontekstualis hadis adalah salah satu hadis yang
mewajibkan kepada umat Islam khususnya laki-laki untuk memelihara jenggot.
Hadis tersebut menjadi perdebatan dalam kalangan umat sendiri, karena tidak
semua orang Islam berjenggot. Oleh karena itu kita bisa menstudi hadis tersebut
apakah masih relevan semisal diterapkan pada era sekarang ini.
انهكوا الشوارب
واعفوااللحى. (رواه البخارى ومسلم عن ابن عمر)
Artinya:
guntinglah kumis dan panjangkanlah jengot.[30]
Hadis
tersebut oleh sebagian umat Islam mereka pahami secara tekstual. Mereka
berpendapat bahwa nabi telah menyuruh semua kaum laki-laki untuk memelihara
kumis dengan memangkas ujungnya dan memelihara jenggot dengan memanjangkanya.
Mereka memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah satu kesempurnaan dalam
mengajarkan agama Islam.[31]
Kalau
melihat asbabul wurudnya, hadis tersebut di ucapkan oleh nabi kepada umatnya
untuk memanjangkan jeggotnya karena pada waktu itu untuk membedakan antara
orang-orang muslim dengan orang-orang yahudi. Jika melihat orang-orang yahudi
konteks sekarang, mereka malahan memiliki jenggot yang sama panjang dengan
orang-orang muslim, dengan demikian hadis untuk memeliharaa jenggot tersebut
sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. Karena dari kenyatan itu, maka hadis
di atas harus dipahami secara kontekstual. Karena kandungan hadis tersebut
bersifat lokal.
BAB III
PENUTUP
C.
Kesimpulan
Pertama, Ilmu ma’ani
hadis bisa difahami ilmu yang membahas bagaimana memahami sebuah teks hadis
dengan mempertimbangkan teks dan kontekstualisasi makna hadis tersebut. Dalam
hal ini untuk menghindari adanya
pertentangan antara teks hadis dengan situasi kondisi perkembangan zaman.
Sehingga teks hadis bisa berfungsi sebagai petunjuk umat sampai akhir zaman.
Kedua,
Secara sederhana dapat ditarik kesimpulan, dari penjelasan beberapa metode pakar
hadis tersebut dapat disimpulkan dalam beberapa point sebagai berikut; pertama,
prinsip konfirmatif dalam penafsiran hadis, yaitu seseorang harus selalu
mengkonfirmaasikan makna hadis dengan pentunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai
sumber tertinggi ajaran. Hal ini penting memingat hadis berfungsi sebagai
penjelas bagi al-Qur’an. Kedua, prinsip tematis komprehensif. Artinya,
teks-teks hadis tidak bisa dipahami sebagai teks yang berdiri sendiri, melaikan
dari satu kesatuan yang intergal, sehingga dalam penafsiran suati hadis,
seseorang harus mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema yang
relevan, sehingga makna yang dihasilkan lebih komprehensif. Ketiga, prinsip
historik. Prinsip ini menghendaki dilakukanya pemahaman terhadap latar
situasional masa lampau, dimana hadis terlahir baik mencakup latar belakang
sosiologis masyarakat Arab secara umum maupun situasi-situasi khusus yang
melatar belakangi munculnya sebuah hadis. Termasuk dalam hal ini adalah
kapasitas dan fungsi Nabi ketika melahirkan hadis yang bersangkutan.
[1] Seperti dalam firman
Allah dalam Q.S Al-Hijr ayat 9.
[2] Muhammad Yusuf, Metode
& Aplikasi Pemaknaan Hadis “Relasi Iman dan Sosial Humanistik Paradigma
Integrasi-Interkoneksi”,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 15. Dikutip dari Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001), hlm. 59
[3] Muhammad Yusuf, Metode
& Aplikasi Pemaknaan Hadis “Relasi Iman dan Sosial Humanistik Paradigma
Integrasi-Interkoneksi”,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 15. Dikutip dari Muhammad al-Hudari Bek,
Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyid al-Mursalin, (Indonesia: Maktabah Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyyah, t.th.), hlm. 274
[4] Ibid.,
[5] www.ma’anil hadis.blogspot.com, oleh
Ibrahim-Muhlis diupload pada 12 juni 2011, didownload pada 09 Oktober 2013
[6] Komarudin hidayat, Memahami
Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakaarta: Paramadina, 1996), hlm.
136
[7] Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta:Teras, 2008), hlm. 82-83
[8] Ibid., hlm. 83-84
[9] Ibid., hlm. 85
[10] Ibid.,
[11] Ibid., hlm. 86
[12] Muhammad al-Ghazali, Studi
Kritis atas Hadis Nabi saw “antara Pemhaman Tekstual dan Kontekstual”, terj.
Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 225
[13] Yusuf al-qardawi, Bagaimana
Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad ql-Baqir (Bandung: Karisma, 1997),
hlm. 92-106
[14] Ibid., 106-117
[15] Ibid., 131-147
[16] Ibid., 147-167
[17] Ibid., 167-195
[18] M. Syuhudi Ismail, Hadis
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual “Telaah Ma’ani al-Hadis Tentang Ajaran Islam
yang Universal, Temporal dan Lokal”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm.
9-31
[19] Ibid., 33
[20]Fazlur Rahman, Islamic
Methodology in History, (Karachi : Central Institute of Islamic Research,
1965), hlm. 12
[21] Ibid., hlm. 77-78
[22] Ibid., hlm.78
[23] Mushadi HAM, Evolusi
Konsep Sunah..., hlm. 155
[24] Ibid., hlm.
155-157
[25] Ibid., hlm.
157-159
[26] Ismail, Hadis
Nabi..., hlm. 11 lihat Shahih al-Bukhari, Juz IV, hlm. 240, Shahih Muslim,
Juz III, hlm. 1584-1588, Sunan al-Turmudzi, Juz III, hlm. 192-193. dan
lain-lain.
[27] Lihat, al-Qur’an, surat
al-Baqarah:219, Surat al-Nisa:43, Surat al-Maidah:90.
[28] Ismail, Hadis
Nabi..., hlm. 12
[29] Ibid.,
[30] Ibid., hlm. 68
lihat Shohih al-Bukhari, Juz IV, hlm.39, Shahih Muslim, Juz I, hlm. 222 dan
Musnad Ahmad, jilid II, hlm 16,52 dan lain-lain.